BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sampai
dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan
hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang
lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar
dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai
peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa.
Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial
Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi
tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat
gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Proses
penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup
tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami
maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih
banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah terjadinya perang padri ?
2. Siapa tokoh yang paling berperan dalam
perlawanan tersebut?
3. Bagaimana proses dalam
perlawanan tersebut ?
4. Bagaimana akhir dari perlawanan
tersebut ?
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah terjadinya perang
padri.
2. Untuk mengetahui tokoh yang paling berperan
dalam perlawanan tersebut.
3. Untuk mengetahui proses dalam perlawanan
tersebut.
4. Untuk mengetahui akhir dari perlawanan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Terjadinya Perang Padri
Perang padri yang berlangsung di Sumatera Barat
dalam abad ke-19 dibagi menjadi:
- Perang antara Kaum Padri melawan Kaum Adat (1803
– 1821)
- Perang antara Kaum Padri melawan Belanda (1821 – 1837)
1.
Perang antara Kaum Padri melawan
Kaum Adat
Perang antara kedua kaum tersebut merupakan perang saudara, yaitu perang
antara sesama rakyat Minangkabau karena adanya perbedaan pendapat mengenai
ajaran agama Islam. Pada permulaan abad ke-19, Minangkabau kedatangan tiga
orang yang telah menunaikan ibadah haji di Mekah, yaitu: H. Miskin, H.
Sumanik, dan H. Piabang. Di Saudi Arabia mereka memperoleh
pengaruh gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang bermaksud memurnikan agama Islam
dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang hendak menyebarkan aliran
Wahabi di Minangkabau menamakan dirinya golongan Paderi (Kaum Pidari).
Ternyata aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam yang
bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin adat dan
golongan bangsawan.
Pertentangan
antara kedua belah pihak itu mula-mula akan diselesaikan secara damai, tetapi
tidak terdapat persesuaian pendapat. Akhirnya Tuanku
Nan Renceh menganjurkan
penyelesaian secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak
keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821). Pemimpin-pemimpinnya sebagai
berikut:
Kaum
Pidari dipimpin
oleh Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa, Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, dan
Tuanku Nan Cerdik.
Kaum
Adat dipimpin
oleh Datuk Sati.
Perang saudara ini mula-mula
berlangsung di Kotalawas.
Selanjutnya menjalar ke daerah-daerah lain. Pada mulanya kaum Pidari dipimpin Datuk Bandaro melawan kaum Adat di bawah pimpinan Datuk Sati. Karena Datuk
Bandaro meninggal, perjuangan kaum Pidari dilanjutkan oleh Datuk Malim Basa,
yang kemudian terkenal dengan nama Imam
Bonjol karena berkedudukan di
Bonjol.
Dalam perang itu, kaum Pidari
mendapat kemenangan di mana-mana. Kedudukan kaum Adat makin terdesak, sehingga
kaum Adat meminta bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu masih
berkuasa di Sumatera Barat). Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat
kepada Belanda, maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji
kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821).
Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang memang sudah lama mencari
kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.
2. Perang antara Kaum
Padri melawan Belanda
Sejak tahun 1821
merupakan awal perang padri melawan Belanda dengan corak keagamaan dan
patriotisme. Perang ini dibagi menjadi dua periode, yaitu:
- Periode I
(Tahun 1821 – 1825)
- Periode II (Tahun 1830 – 1837)
a. Periode I (Tahun 1821 – 1825)
a. Periode I (Tahun 1821 – 1825)
Belanda mengirimkan pasukannya ke
Semawang dan beberapa minggu kemudian terjadilah pertempuran di Sulit Air
(mulailah perang padri). Belanda mendirikan dua benteng, yaitu: Benteng Fort van der Capellen di Batusangkar dan Benteng Fort de Kock di Bukittinggi.
Ternyata Belanda hanya dapat
bertahan di benteng-benteng itu saja. Daerah luar benteng masih tetap dikuasai
oleh kaum Pidari. Belanda mengalami kekalahan di mana-mana, bahkan pernah
mengalami kekalahan total di Muara Palam dan di Sulit Air. Akhirnya pada
tanggal 22 Januari 1824 Belanda mengadakan perdamaian dengan kaum Pidari di Masang, isinya: kedua belah
pihak akan mentaati batasnya masing-masing.
Belanda tidak mau mentaati
perjanjian dan dua bulan kemudian Belanda meluaskan daerahnya masuk ke daerah
kaum Pidari. Maka terjadi pertempuran lagi antara kedua belah pihak. Sementara
di Sumatera Barat berkobar perang Padri, di Jawa Tengah meletus Perang Diponegoro.
Kedudukan Belanda bertambah sulit, sebab terpaksa mengirimkan pasukannya ke
Jawa untuk menghadapi Perang Diponegoro. Belanda mencari akal agar dapat
berdamai dengan kaum Padri. Dengan perantaraan seorang bangsa Arab yang bernama
Said Salima ‘Ijafrid, Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Pidari
tanggal 15 November 1825 di Padang, yang isinya:
ü Kedua
belah pihak tidak akan saling serang menyerang.
ü Kedua
belah pihak saling melindungi orang-orang yang sedang pulang kembali dari
pengungsian.
Belanda
mengikat perjanjian tersebut karena pasukannya ditarik seluruhnya untuk
menghadapi Perang Diponegoro.
b.
Periode II (Tahun 1830 – 1837)
Perang
Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat diselesaikan Belanda dengan tipu
muslihatnya. Perhatiannya lalu dipusatkan lagi ke Minangkabau. Maka berkobarlah
Perang Padri periode kedua, karena Belanda memungkiri Perjanjian Padang.
Pertempuran mulai berkobar di Naras daerah Pariaman. Naras yang dipertahankan
oleh Tuanku Nan Cerdik diserang oleh Belanda sampai dua kali
tetapi tidak berhasil. Setelah Belanda menggunakan senjata yang lebih lengkap
di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Elout yang dibantu Mayor Michiels, Naras dapat
direbut oleh Belanda. Tuanku
Nan Cerdik menyingkir ke
Bonjol, selanjutnya daerah-daerah kaum Pidari dapat direbut oleh Belanda satu
demi satu, sehingga pada tahun 1832 Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda. Akan
tetapi ketenteraman itu tidak dapat berlangsung lama, karena rakyat diharuskan:
- Membayar cukai
pasar dan cukai mengadu ayam.
- Kerja rodi
untuk kepentingan Belanda.
Dengan hal-hal tersebut di atas,
sadarlah kaum Adat dan kaum Pidari bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat
oleh Belanda. Perasaan nasionalisme mulai timbul dan menjiwai mereka
masing-masing. Selanjutnya terjadilah perang nasional melawan Belanda. Pada
tahun 1833 seluruh rakyat Sumatera Barat serentak menghalau Belanda. Bonjol
dapat direbut kembali dan semua pasukan Belanda di dalamnya dibinasakan. Karena
itu Belanda mulai mempergunakan siasat adu domba (devide et empera).
Dikirimkanlah Sentot beserta pasukan-pasukannya—yang
menyerah kepada Belanda waktu Perang Diponegoro—ke Sumatera Barat untuk
berperang melawan orang-orang sebangsanya sendiri. Tetapi setelah Belanda
mengetahui bahwa Sentot mengadakan hubungan dengan kaum Pidari
secara rahasia, Belanda menjadi curiga. Pasukan Sentot ditarik kembali ke Batavia dan Sentot diasingkan ke Bangkahulu.
Untuk
mengakhiri Perang Padri itu, Belanda berusaha menarik hati para raja di
Minangkabau dengan cara mengeluarkan Plakat
Panjang (1833) yang isinya:
ü Penduduk
dibebaskan dari pembayaran pajak berat dan pekerjaan rodi.
ü Perdagangan
hanya dilakukan dengan Belanda saja.
ü Kepala
daerah boleh mengatur pemerintahan sendiri, tetapi harus menyediakan sejumlah
orang untuk menahan musuh dari dalam atau dari luar negeri.
ü Para pekerja diharuskan menandatangani
peraturan itu. Mereka yang melanggar peraturan dapat dikenakan sanksi.
Selanjutnya Belanda tetap berusaha untuk memperluas
daerahnya. Setapak demi setapak Belanda dapat menundukkan pertahanan kaum
Pidari termasuk pertahanan kaum Pidari di Bonjol (1837), tetapi Tuanku Imam Bonjol beserta pengikutnya dapat meloloskan
diri, dan meneruskan perjuangannya di daerah lain.
Sejak itu perlawanan rakyat Minang
makin lama makin menurun, daerah kekuasaan Belanda makin meluas, dan daerah
kaum Pidari makin menyempit. Akhirnya Belanda mengirimkan utusan untuk
menyampaikan janji-janji kepada Tuanku
Imam Bonjol. Tuanku Imam
Bonjol—ketika menjumpai panglima pasukan Belanda—ditangkap dan dipenjarakan
di Cianjur, lalu dibuang ke Ambon, akhirnya dipindahkan ke Menado dan wafat
pada tanggal 6 November 1864. Dengan tipu muslihatnya, Belanda akhirnya dapat
menghentikan Perang Padri dan menguasai Sumatera Barat.
B.
Tokoh / Pemimpin Perang Padri
Adanya perselisihan antara kaum adat dan kaum padri
sebagai akibat dari usaha yang dilakukan kaum padri untuk memurnikan ajaran
Islam dengan menghapus adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran islam.
Campur
tangan belanda dengan membantu kaum adat .Pertempuran pertama terjadi dikota
lawas kemudian meluas ke daerah daerah lain. Sehingga muncul pemimpin pemimpin yang
mendukung gerakan kaum padri seperti Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa (Imam Bonjol), Tuanku pasaman, Tuanku Nan Rencek,
Tuanku Nan. cerdik, dan Tuanku Nan Gapuk.
C.
Proses Perlawanan
Musuh
kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai tahun1821 Kaum Adat yang mulai terdesakdengan serangan Kaum Padri, meminta
bantuan kepada Belanda. Kaum Padri memulai serbuan ke berbagai pos Belanda dan
pencegatan terhadap patrol Belanda. Pasukan Padri bersenjatakan senjata
tradisional, sedangkan musuhnya menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya
yang sudah dibilang cukup modern.
Pertempuran
banyak menimbulkan korban kedua belah pihak. Pasukan Belanda mendirikan benteng
pertahanan di Batu sangkar diberi nama Fort Van Der Capellen.
Benteng
pertahanan kaum Padri dibangun di berbagai tempat, antara lain Agam dan Bonjol
yang diperkuat dengan pasukan yang banyak. Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum
Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya.
Oleh sebab itu Belanda melalui wakilnya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri
yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan
mengadakan "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825 dan
diingkari oleh Belanda sendiri.
Pada April
1824 Raaf meninggal digantikan oleh Kolonel De Stuers. Dia membangun Benteng
Fort De Kock,di Bukit Tinggi. Hal ini dilakukan karena disaat bersamaan
Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain
di Jawa yaitu Perang Diponegoro.
Tahun
1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah meluas sampai ke Batak Mandailing,
Tapanuli. Di Natal. Tapanuli Baginda Marah Husein minta bantuan kepada Kaum
Padri mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka setelah selesai perang
Diponegoro, Natal di bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat mempertahankan
serangan Belanda di sana. Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh Letnan Kolonel
Elout, yang datang di Padang Maret 1931. Dengan bantuan Mayor Michiels, Natal
dapat direbut, sehingga Tuanku Nan Cerdik ke Bonjol. Banyak kampung yang
dapat direbut Belanda. Tahun 1932 datang bantuan dari Jawa, di bawah Sentot
Prawirodirjo. Dengan cepat Lintau, Bukit, Komang, Bonjol, dan hampir seluruh
daerah Agam dapat dikuasai oleh Belanda. Melihat ini baik Kaum Adat dan Kaum
Padri bersatulah mereka bersama-sama menghadapi penjajah Belanda.
D.
Akhir Perlawanan
Setelah
daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan ditujukan
langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku Imam Bonjol
menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa perdamaian ini
disertai dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain. Perundingan
perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan
lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng
dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar
benteng. Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran
pada tanggal 12 Agustus 1837.
Belanda
memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol,yang didahului
dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol tidak banyak
menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu
tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.Pasukan
Padri terdesak dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan
Belandamenyebabkan Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah pada
tanggal 25 Oktober 1937. Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak
berarti perlawanan kaum Padri telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih
terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi pada tahun 1838.
Setelah itu berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau dikuasai oleh Belanda.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akhirnya
pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol
berhasil ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya
benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu , yang waktu itu telah dipimpin oleh
Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Hancurnya
benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya
pindah kenegeri sembilan semenanjung malaya dan akhirnya peperangan ini
dianggap selesai karena sudah tidak ada perlawanan yang berarti.
3.2 Saran
Semoga
dengan dibuatnya makalah ini, kita bisa mengetahui bagaimana susahnya pejuang
Indonesia zaman dahulu merebut NKRI, dari bertaruh harta maupun nyawa.
Janganlah melupakan jasa pahlawan yang telah gugur dalam membela Indonesia dan
semoga kita bisa mengambil nilai-nilai luhur dari mereka.
DAFTAR PUSTAKA
http://iskandarberkasta-sudra.blogspot.com/2011/02/kedatangan-belanda-ke-indonesia.html
Notosusanto, Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Notosusanto, Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suyono Capt.R.P. 2003. Peperangan Kerajaan di Nusantara. Jakarta:PT Gramedia
Hanna,
Williard. 1996. Ternate dan Tidore. Jakarta : PT Penebar Swadaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar